Revisi Doktrin Nuklir Rusia Tuai Reaksi Keras Dunia Internasional

Presiden Rusia Vladimir Putin, pada Selasa (19/10), menandatangani revisi doktrin nuklir Rusia yang memperkenalkan kebijakan baru terkait ambang batas penggunaan senjata nuklir. Doktrin yang telah diperbarui ini menyatakan bahwa serangan konvensional terhadap Rusia, yang didukung oleh negara dengan kekuatan nuklir, akan dianggap sebagai serangan nuklir terhadap negara tersebut. Langkah ini diambil setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengizinkan Ukraina untuk menyerang sasaran-sasaran di wilayah Rusia menggunakan rudal jarak jauh yang dipasok oleh AS.
Reaksi Dunia Terhadap Ancaman Nuklir Rusia
Keputusan Putin ini memicu reaksi keras dari berbagai negara di dunia. Jerman, misalnya, memberikan tanggapan yang tegas terhadap kebijakan baru Rusia. Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyatakan bahwa Jerman tidak akan terintimidasi oleh kebijakan pencegahan nuklir Rusia. Baerbock mengingatkan bahwa Jerman pernah melakukan kesalahan dengan takut terhadap ancaman Rusia di masa lalu, terutama sejak 2014, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
“Putin mempermainkan ketakutan kita. Hal ini dimulai pada 2014, bukan 1.000 hari yang lalu. Jerman telah membuat kesalahan saat itu dengan membiarkan diri terintimidasi oleh rasa takut ini dan tidak mendengarkan mitra-mitra Eropa Timur kami yang jelas-jelas menyarankan untuk tidak bergantung pada janji Kremlin,” kata Baerbock.
Reaksi keras juga datang dari diplomat Uni Eropa, Josep Borrell, yang menyebut ancaman eskalasi nuklir Rusia sebagai tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab. Borrell menegaskan bahwa tidak ada pemenang dalam perang nuklir dan bahwa perang nuklir seharusnya tidak terjadi.
Analisis Mengenai Doktrin Nuklir Rusia yang Direvisi
Sebagian besar analis meyakini bahwa keputusan Putin menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir Rusia berkaitan langsung dengan kebijakan AS yang mendukung Ukraina dalam meluncurkan serangan ke wilayah Rusia menggunakan rudal jarak jauh. Namun, Patricia Lewis, kepala program Keamanan Internasional di Chatham House, mengungkapkan keraguan atas hal ini. Ia berpendapat bahwa doktrin nuklir Rusia yang baru sebenarnya merupakan versi modifikasi dari doktrin sebelumnya dan tidak hanya dipicu oleh kebijakan Biden atau keputusan Ukraina.
“Doktrin nuklir baru ini sudah ada sejak beberapa waktu lalu, dan tidak bisa dikaitkan langsung dengan keputusan Presiden Biden,” kata Lewis.
Rusia Bantah Ancaman Perang Nuklir
Rusia sendiri membantah bahwa revisi doktrin nuklirnya dimaksudkan sebagai ancaman langsung terhadap negara-negara lain. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menegaskan bahwa senjata nuklir Rusia hanya digunakan sebagai alat pencegah, bukan untuk memicu perang nuklir. Lavrov juga mengingatkan bahwa Rusia sejak zaman Uni Soviet selalu mendukung upaya untuk mencegah perang nuklir dan bahwa “tidak ada pemenang dalam perang nuklir.”
Reaksi Amerika Serikat dan Respons Kebijakan Nuklir
Pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan bahwa mereka tidak terkejut dengan keputusan Rusia untuk memperbarui doktrin nuklirnya. Gedung Putih menyatakan bahwa langkah ini sudah diperkirakan dan mereka tidak berniat mengubah kebijakan nuklir mereka sebagai respons terhadap pengumuman tersebut. “Rusia telah mengisyaratkan niatnya untuk memperbarui doktrin nuklirnya selama beberapa pekan terakhir,” ujar pernyataan dari Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.
Kesimpulan
Revisi doktrin nuklir Rusia yang baru memperburuk ketegangan yang sudah berlangsung lama antara Rusia dan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Meskipun Rusia membantah bahwa kebijakan ini dimaksudkan sebagai ancaman langsung terhadap negara lain, dunia internasional tetap merespons dengan cemas. Kebijakan ini dapat memperburuk ketidakpastian geopolitik, yang berpotensi memperburuk konflik yang sudah ada, terutama terkait dengan invasi Rusia ke Ukraina.